Wednesday, 15 April 2020

Hau la hetene ita nia koalia.

Ita ema husi ne'ebe.
Hal yang buat aku bingung, bukan ga bisa menjawab, tapi tidak tahu gimana cara menjawab.
Begitulah Nina Dos Santos, menanyakan asal aku.
Setelah beberapa lama, mulai terbiasa dengan komunikasi dengan bahasa Tetun. Aku merasa bodoh saat tidak memahami apa yang ditanyakan orang. Mengambil kursus bahasa Tetun kah. Aku memberanikan diri untuk banyak terlibat dengan orang lokal. Diakui ya, ada sekitar empat bahasa, yakni Bahasa Inggris, Portugis, Tetun dan Bahasa Indonesia di kota Dili saat itu, di tahun dua ribu tujuh. Aku juga hanya bisa bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dilihat dan dikatakan sombong, ya sudah. Padahal ada keinginan untuk menguasai bahasa lokal orang Dili. Mengambil angkot sebagai pilihan transportasi, bukan mudah, karena keamanan tidak terjamin, atau jalan-jalan ke pasar tradisional, tidak terlepas dari kasus pencopetan atau tindak kriminal lainnya. Namun aku kira harus dihadapi, karena kapan lagi aku bisa berinteraksi dengan budaya lokal. Terlihat dua minggu setelahnya, kemampuan akan bahasa lokal mulai menampakan hasil, bergaul semakin karib dengan orang lokal, bergabung dengan aktivitas mereka, sedikit memberi harapan akan pemahaman bahasa lokal lebih baik, padahal bagi orang asing lain, Tetum language is the easiest, you can master it in less than a week. ... Alih-alih meningkatkan penguasaan bahasa Tetum, aku sampai kehilangan dompet di taksi kuning saat kembali dari kelas pengajaran dan penerjemahan di Timor Dive, belum lagi penjambretan hape yang aku alami saat melintas dari arah Pertamina ke kawasan Delta.

No comments:

Post a Comment